PROBLEMATIKA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PROBLEMATIKA
PENDIDIKAN ISLAM

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
MKPA
Yang dibina oleh Bapak Drs. Naf’an Abu Mansyur, M.Pd.







OLEH:

MIFTACHUL MA’AYIS
N.I.M : 93111388
N.I.M.K.O : 93.4.58.0101.00294








SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
STIT
MASKUMAMBANG GRESIK


KATA PENGANTAR



Segala puji bagi Allah SWT. semata yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah yang berjudul “PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM”
Penulis menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna dan juga ada kelemahan, kekurangan serta kesalahan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran-saran dan bimbingan untuk melakukan perbaikan. Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis hususnya dan umumnya bagi para pembaca.



Penulis



















BAB I
PENDAHULUAN

Kritik atau keluhan yang sering di lontarkan masyarakat dan pihak orag tua murid selama ini, pendidikan agama di sekolah umum dan perguruan tinggi, belum mampu mengantar peserta didik untuk dapat memahami dan mengamalkan ajaran agamanya dengan baik dan benar. Sebagai contoh yang sering dikemukakan, anak-anak beragama islam, yang sejak disekolah dasar telah memperoleh pedidikan agama setelah tamat ditingkat menengah banyak diantaranya yang belum mampu membaca kitab suci Al Qur’an dengan baik dan benar, apalagi menulis dan enerjemahkan isinya.
Demikian pula kemampuan dalam praktek ibadah tidak seperti yang diharapkan. Selain kelemahan dalam peguasaan materi (aspek kognitif ) juga dalam hal pembentukan prilaku (aspek afektif) dampak nilai-nilai luhur agama dari proses pendidikan agama di sekolah-sekolah oleh sebagian masyarakat dinilai kurang nampak dalam pribadi anak dalam kehidupan sehari-hari.
Tingginya frekwensi perkelahian sesama pelajar di kota-kota besar, kurangnya rasa hormat sang anak atau murid kepada guru, bahkan ada yang memukul guru kalau ia tidak naik kelas, akrabnya sebagian anak muda dengan obat-obat perangsang dan terlarang seperti narkotika, ecstassy adanya pergaulan bebas dan “ngumpet sekamar” pelajar putra dan putri atau “kumpul kebo” dikalangan (segelintir) mahasiswa atau generasi muda, sering diangkat oleh sebagian anggauta masyarakat dan orang tua sebagai indikasi ketidak berhasilan pendidikan agama disekolah dan perguruan tinggi.
Di mana letak kesalahannya? Pada isi kurikulum yang kurang tepat, system atau metodologi, alokasi waktu atau ketidak mampuan pihak guru agama?. Maka dari itu perlu kiranya kami menulis sebuah makalah yang berjudul “PROBLEMATIKA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM”.





BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Pendidikan Islam
Dalam menjelaskan arti Pendidikan Islam akan banyak kita jumpai beberapa pandangan mengenai pengertian dari Pendidikan Islam itu sendiri. Burlian Somad.1981, mengatakan bahwa Pendidikan Islam adalah Pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi mahluk yang bercorak diri, berderajat tinggi menurut ukuran Alloh dan isi pendidikannya adalah mewujudkan tujuan itu, yaitu ajaran Alloh. Secara terperinci beliau mengemukakan, pendidikan itu disebut Pendidikan Islam apabila memiliki dua ciri khas yaitu :
1.Tujuannya membentuk individu menjadi bercorak tinggi menurut ukuran Al-Qur’an.
2. Isi Pendidikannya adalah ajaran Alloh yang tercantum dengan lengkap didalam Al-qur’an yang pelaksanaannya didalam praktek hidup sehari-hari sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan menurut Marimba Ahmad,.1980. bahwa pendidikan Islam merupakan pendidikan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum Agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam yaitu suatu kepribadian muslim yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memiliki dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam dan bertanggungjawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Sementara itu arti pendidikan Islam menurut hasil seminar pendidikan Islam se-Indonesia tanggal 7 s/d 11 Mei 1960 di Cipayung Bogor, adalah bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.
Dari beberapa uraian tersebut diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pendidikan Islam ialah usaha dalam pengubahan sikap dan tingkah laku individu dengan menanamkan ajaran-ajaran agama Islam dalam proses pertumbuhannya menuju terbentuknya kepribadian yang berakhlak mulia, Dimana akhlak yang mulia adalah merupakan hasil pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu individu yang memiliki akhlak mulia menjadi sangat penting keberadaannya sebagai cerminan dari terlaksananya pendidikan Islam.

B.Tujuan Pendidikan Islam.
Tujuan adalah suatu sasaran yang akan dicapai seseorang atau kelompok orang yang melakukan suatu kegiatan. Sedangkan tujuan pendidikan Islam yaitu suatu sasaran yang akan dicapai seseorang atau kelompok orang yang melakukan pendidikan Islam.
Sehubungan dengan hal itu, maka tujuan pendidikan Islam mempunyai makna yang sangat penting, keberhasilan dari suatu sasaran yang diinginkan, arah atau pedoman yang harus ditempuh, tahapan, sasaran, serta sifat dan mutu kegiatan yang dilakukan. Oleh karena itu kegiatan tanpa disertai dengan tujuan, menyebabkan sasarannya akan kabur, akibatnya program dan kegiatan tersebut akan acak-acakan.
Adapun pendidikan Islam mempunyai tujuan untuk membentuk manusia muslim yang berakhlak mulia, cakap dan percaya pada diri sendiri dan berguna bagi masyarakat. Sedangkan manusia muslim yang dimaksud adalah pribadi-pribadi muslim yang mempunyai keseimbangan yang dapat mengintegrasikan kesejahteraan kehidupan di dunia maupun kebahagiaan kehidupan di akhirat, dapat menjalin hubungan kemasyarakatan yang baik dengan jiwa sosial yang tinggi, mengembangkan etos ta’awun dalam kebaikan dan taqwa.

C.Kelemahan dan Kendala Pendidikan Islam.
Menurut Sardjito Marwan (1996:66-74) dalam berbagai kesepatan diskusi, seminar, lokakarya, penataran dan lain-lain, telah sering dikemukakan kelemahan dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum. Dari kalangan guru, keluhan yang sering dikemukakan adalah alokasi waktu yang kurang memadai dan isi kurikulum yang terlalu syarat. Di samping itu, sarana dan lingkungan sekolah sering tidak menunjang pelaksanaan pendidikan agama.
Juga dari pihak orang tua kurang memperlihatkan kerjasama. Mereka hanya menuntut anaknya menjadi orang yang berpengetahuan luas dan berakhlak mulia, taat melaksanakan agama, sementara mereka tidak mau memberi dukungan dan contoh. Bagaimana seorang anak menjadi manusia atau generasi berbudi pekerti luhur dan taat melaksanakan perintah agama seperti shalat, puasa, dan lain-lain kalau orang tuanya dirumah tidak pernah melakukan shalat dan puasa. Dalam kasus seperti ini, kiranya kurang adil kalau guru agama dituding sebagai kambing hitam.
Ini tidak berarti tidak ada kelemahan dipihak guru. Banyak kekurangan pihak guru agama. Diantara kekurangan mereka adalah keterbatasan kemampuan menguasai materi yang diajarkan. Dan kalau muncul issu-issu yang mempertentankan nilai-nilai dasar agama dengan penemuan-penemuan baru dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, guru-guru tidak mampu memberikan penjelasan yang memadai. Sebagian guru agama nampaknya tidak cukup mempunyai pengetahuan yang komprehensif untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut.
Kelemahan lain, pada umumnya guru-guru agama kurang mampu atau tidak dengan sungguh-sungguh untuk mengembangkan metodologi yang tepat untuk mata pelajaran pendidikan agama. Guru-guru agama disekolah dasar dari tamatan PGAN selain urang mendalami materi yang diajarkan, juga sering kali mengajar tanpa memperhatikan didaktik-metodik dan psikologi anak.

5.Beberapa Tantangan Dalam Pendidikan Islam.
Kiranya perlu kita sadari pula bahwa merebaknya kenakalan remaja, perkehian antar pelajar terutama di kota-kota besar, munculnya “premanisme” dan berbagai bentuk kejahatan lainnya merupakan tantangan bagi para pendidik, tokoh masyarakat, guru agama, dan kita semua.
Tetapi kita juga ingin menegaskan bahwa dalam menghadapi kasus-kasus kejahatan tersebut guru-guru agama tidak dapat dipersalahkan begitu saja atau dijadikan “kambing hitam”. Guru Agama tidak dapat dipersalahkan secara pukul rata lantaran ada kejahatan, tidak berakhlak, brutal, alkoholis, berkelahi dan bersikap kurangajar! Banyak factor lain yang lebih dominan dalam pembentukan perilaku dan watak mereka. Karenanya kita menolak kalau ada pihak yang menilai bahwa semakin “merebaknya“ kejahatan dan kenakalan remaja itu merupakan indicator kuat terhadap kegagalan pendidikan agama disekolah-sekolah. Tetapi meski demikian kita juga tidak boleh bersikap apatis sambil berkata: “apa yang terjadi, terjadilah!”
Tokoh-tokoh islam, Ulama’ dan guru-guru agama kiranya tetap menaruh rasa prihatin dan perlu proaktif untu ikut menangulangi kejahatan dan kenakalan remaja dan premanisme tersebut. Perlu kita sadari juga, bahwa para preman, remaja dan pelajar yang suka berkelahi, anak-anak yang suka mabuk-mabukan, mereka yang melakukan kejahatan di kota-ko\ta besar, sebagian besar berasal dari keluarga muslim, baik dari kalangan yang berada maupun dari kalangan yang tidak punya. Tetapi sekali lagi, hal tersebut bukan indicator kegagalan atau merosotnya kualitas penghayatan dan pengamalan keagamaan umat islam Indonesia.
Penghayatan dan pengamalan keagamaan umat islam dalam masa dua atau tiga decade terakhir ini jauh lebih maju, semarak dan mantap dibandingkan dengan masa sebelumnya atau dimasa orde lama. Betapapun masih ada kekurangan dan hambatan, program pendidikan agama telah memberikan hasil dan dampak positif bagi peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan generasi muda dan umat islam Indonesia.
Kesadaran masyarakat ntuk menanamkan keimanan dan ketaqwaan sedini mungkin kepada anak-anak didik kita makin tumbuh dan merata. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin maraknya kegiatan “pendidikan agama” melaluai media masa, munculnya pengajian-pengajian, majlis ta’lim, madrasa diniyah, pesantren kilat, taman pendidikan Al Qur’an, dan lain-lain.
Gerakan masyarakat dalam kegiatan pendidikan agama tersebut perlu didorong lebih luas dan meningkat lagi, dan segala kekurangan dan hambatan yang ada kita tanggulangi dan kita carikan jalan keluar.
Saya percaya para peserta pertemuan ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagaimana mewujudkan keterpaduan pendidikan agama dari tiga lingkungan: sekolah, masyarakat, dan keluarga.

6.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan.
Djamarah & Zain Aswan (1996:123) berpendapat, jika ada guru yang mengatakan bahwa dia tidak ingin berhasil dalam mengajar, adalah ungkapan seorang guru yang sudah putus asa dan jauh dari kepribadian seorang guru. Mustahil setiap guru tidak ingin berhasil dalam mengajar. Apalagi jika guru itu hadir kedalam dunia pendidikan berdasarkan tuntunan hati nurani. Panggilan jiwanya pasti merintih atas kegagalan mendidik dan membina anak didiknya.
Betapa tingginya nilai suatu keberhasilan, sampai-sampai seorang guru berusaha sekuat tenaga dan fikiran mempersiapkan program pengajarannya dengan baik dan sistematik. Namun terkadang keberhasilannya yang dicita-citakan, tetapi kegagalan yang ditemui; disebabkan oleh beberapa factor sebagai penghambatnya. Sebaliknya, jika keberhasilan itu menjadi kenyataan, maka berbagai factor itu juga sebagai pendukungnya, Berbagai factor yang dimaksud adalah :

1.Tujuan.
Tujuan adalah pedoman sekaligus sebagai sasaran yang akan dicapai dalam kegiatan belajar mengajar. Kepastian dari perjalanan proses belajar mengajar berpangkal tolak dari jelas tidaknya perumusan tujuan pengajaran. Tercapainya tujuan sama halnya keberhasilan pengajaran.

2.Guru.
Guru adalah tenaga pendidik yang memberikan sejumlah ilmu pengetahuan kepada anak didik di sekolah. Guru adalah orang yang berpengalaman dalam bidang profesinya. Dengan keilmuan yang dimilikinya, dia menjadi anak didik menjadi orang yang cerdas. Latar belakang pendidikan dan pengalaman mengajar adalah dua aspek yang mempengaruhi kopetensi seorang guru dibidang pendidikan dan pengajaran.

3.Anak Didik.
Anak didik adalah orang yang dengan sengaja datang ke sekolah. Orang tuanyalah yang memasukkannya untuk dididik agar menjadi orang yang berilmu pengetahuan dikemudian hari. Kepercayaan orang tua anak diterima oleh guru dengan kesadaran dan penuh keikhlasan. Maka jadilah guru sebagai pengemban tangung jawab yang diserahkan itu.

4.Kegiatan pengajaran.
Pola umum kegiatan pegajaran adalah terjadinya interaksi antara guru dengan anak didik dengan bahan sebagaiperantaranya. Guru yang mengajar. Anak didik yang belajar. Maka guru adalah orang yang menciptakan lingkungan belajar bagi kepentingan belajar anak didik. Anak didik adalah orang yang digiring kedalam lingkungan belajar yang tlah diciptakan oleh guru. Gaya mengajar guru berusaha mempengaruhi gaya belajar anak didik. Tetapi disini gaya mengajar guru lebih dominant mempengaruhi gaya belajar anak didik.

5.Bahan dan alat evaluasi.
Bahan evaluasi adalah suatu bahan yang terdapat didalam kurikulum yang sudah dipelajari oleh anak didik guna kepentingan ulangan. Bila tiba masa ulangan, semua bahan yang telah diprogramkan dan harus selesai dalam jangka waktu tertentu dijadikan sebagai bahan untuk pembuatan item-item soal evaluasi.

6.Suasana Evaluasi.
Selain factor tujuan, guru, anak didik, kegiatan pengajaran, serta bahan dan alat evaluasi, faktor evaluasi juga merupakan fakor yang mempengaruhi kebersilan belajar mengajar.

7.Teknik-Teknik Pendidikan.
Sementara menurut Quthb Muhammad (1988:325), memberi komentar, tetapi lebih dari itu, Islam belum pernah pula kehabisan persediaan dalam hal teknik-teknik pendidikan dan masih banyak lagi persediaan anak-anak panah didalam kantongnya. Ia melakukan pendidikan melalui teladan, melalui teguran, melalui hukuman, melalui cerita-cerita, melalui pembiasaan, dan melalui pengalaman-pengalaman kongkrit.
1.Pendidikan melalui teladan.
Ini adalah salah satu teknik pendidikan yang efektif dan sukses. Mengarang buku mengenai pendidikan adalah mudah begitu juga menyusun suatu metodologi pendidikan, kendatipun hal itu membutuhkan ketelitian, keberanian dan pendekatan yang menyeluruh. Namun hal itu masih tetap hanya akan merupakan tulisan diatas kertas, tergantung diatas awang-awang, selama tidak tejamah menjadi kenyataan yang hidup didunia nyata, bila tidak bisa menjamah manusia yang menterjemahkannya, dengan tingkah laku, tindak-tanduk, ungkapan-ungkapan rasa, dan ungkapan-ungkapan pikiran: menjadi dasar-dasar dan arti suatu metodologi. Hanya bila demikianlah suatu metodologi akan berubah menjadi suatu gerakan, akan menjadi suatu sejarah. Diperlukanlah teladan. Oleh karena itulah Allah mengutus Muhammad s.a.w. untuk menjadi tauladan buat manusia.

2.Pendidikan Melalui Nasehat.
Didalam jiwa terdapat pembawaan untuk terpengaruh oleh kata-kata yang didengar. Pembawaan itu biasanya tidak tetap, dan oleh karena itu kata-kata harus diulang-ulang. Nasehat yang berpengaruh, membuka jalannya kedalam jiwa secara langsung melalui perasaan. Dalam pendidikan nasehat saja tidaklah cukup bila tidak dibarengi dengan teladan dan perantara yang memungkinkan teladan itu diikuti dan diteladani.

3.Pendidikan Melalui Hukuman.
Bila teladan tidak mampu, dan begitu juga nasehat, maka waktu itu harus diadakan tindakan tegas yang dapat meletakkan persoalan ditempat yang benar. Kecenderungan pendidikan modern sekarang memandang tabu hukuman itu, memandang tidak layak disebut-sebut. Tetapi generasi muda yang ingin dibina tanpa hukuman itu; di Amerika, adalah generasi muda yang sudah kedodoran, meleleh, dan sudah tidak bisa dibina lagi eksistensinya. Tindakan tegas itu adalah hukuman. Hukuman sesungguhnya tidaklah mutlak diperlukan. Ada orang-orang yang teladan dan nasehat saja sudah cukup, tidak perlu lagi hukuman dalam hidupnya. Tetapi manusia itu tidak sama seluruhnya. Diantara mereka ada yang perlu dikerasi sekali-kali.

4.Pendidikan Melalui Cerita.
Cerita mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan. Bagaimanapun persoalannya, cerita itu pada kenyataannya sudah merajut kaki manusia dan akan tetap mempengaruhi kehidupan mereka. Islam menyadari sifat alamiah manusia untuk menyenangi cerita itu, dan menyadari [engaruhnya yang besar terhadap perasaan. Oleh karena itu Islam mengeksploitasi cerita itu untuk dijadikan salah satu teknik pendidikan.

5.Pendidikan Melalui Kebiasaan.
Kebiasaan, sebagaimana sudah kita singgung , menduduki kedudukan yag sangant istimewa di dalam kehidupan manusia. Islam mempergunakan kebiasaan itu sebagai salah satu teknik pendidikan. Lalu ia mengubah seluruh sifat-sifat baik menjadi kebiasaan, sehinga jiwa dapat menunaikan kebiasaan itu tanpa terlalu payah, tanpa kehilangan banyak tenaga, dan tanpa menemukan banyak kesulitan.

6.Menyalurkan Kekuatan.
Diantara banyak teknik Islam dalam membina manusia dan uga dalam memperbaikinya adalah mengaktifkan kekuatan-kekuatan yang tersimpan didalam jiwa dan tubuh dari diri dan tidak memendamnya kecuali bila potensi-potensi itu memang terpuruk untuk lepas.

7.Mengisi Kekosongan.
Bila Islam menyalurkan kekuatan tubuh dan jiwa ketika sudah menumpuk, dan tidak menyimpannya, karena penuh resiko. Maka Islam sekaligus juga tidak senang pada kekosongan. Kekosongan merusak jiwa, seperti halnya kekuatan terpendam juga rusak, tanpa adanya suatu keadaan istimewa. Kerusakan utama yang timbul oleh kekosongan adalah habisnya kekuatan potensial itu untuk mengisi tersebut. Seterusnya orang itu akan terbiasa pada sikap buruk yang dilakukannya untuk mengisi kekosongan itu.









BAB III
KESIMPULAN

1.pendidikan Islam ialah usaha dalam pengubahan sikap dan tingkah laku individu dengan menanamkan ajaran-ajaran agama Islam dalam proses pertumbuhannya menuju terbentuknya kepribadian yang berakhlak mulia, Dimana akhlak yang mulia adalah merupakan hasil pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu individu yang memiliki akhlak mulia menjadi sangat penting keberadaannya sebagai cerminan dari terlaksananya pendidikan Islam.
2.Adapun pendidikan Islam mempunyai tujuan untuk membentuk manusia muslim yang berakhlak mulia, cakap dan percaya pada diri sendiri dan berguna bagi masyarakat.
3.Kelemahan dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum. Dari kalangan guru, keluhan yang sering dikemukakan adalah alokasi waktu yang kurang memadai dan isi kurikulum yang terlalu syarat. Di samping itu, sarana dan lingkungan sekolah sering tidak menunjang pelaksanaan pendidikan agama. Juga dari pihak orang tua kurang memperlihatkan kerjasama. Kelemahan lain, pada umumnya guru-guru agama kurang mampu atau tidak dengan sungguh-sungguh untuk mengembangkan metodologi yang tepat untuk mata pelajaran pendidikan agama.
4.Merebaknya kenakalan remaja, perkehian antar pelajar terutama di kota-kota besar, munculnya “premanisme” dan berbagai bentuk kejahatan lainnya merupakan tantangan bagi para pendidik, tokoh masyarakat, guru agama, dan kita semua.
5.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan.
Tujuan.
Guru.
Anak Didik.
Kegiatan pengajaran.
Bahan dan alat evaluasi.
Suasana Evaluasi.

6.Teknik-Teknik Pendidikan.
Pendidikan melalui teladan.
Pendidikan Melalui Nasehat.
Pendidikan Melalui Hukuman.
Pendidikan Melalui Cerita.
Pendidikan Melalui Kebiasaan
Menyalurkan Kekuatan
Mengisi Kekosongan.























DAFTAR PUSTAKA

Burlian, Somad, 1981. Beberapa Persoalan dalam Pendidikan Islam. Bandung: Al Ma’arif
Djamara, S, Bahri, Drs.& Zain, Aswan, Drs,1996. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Marimba, Ahmad, D, 1980. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al. Ma’arif.
Quthb, Muhammad, 1988. Sistem Pendidikan Islam. Bandung: Al Ma’arif
Sardjito, Marwan, 1996. Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam. Jakarta: CV Amissco.
0 Responses
abcs