BENTUK DAN SISTEM PEMERINTAHAN
MENURUT AGAMA ISLAM
Segala puji bagi Allah SWT. semata yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah yang berjudul “BENTUK DAN SITEM PEMERINTAHAN MENURUT AGAMA ISLAM”
Penulis menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna dan juga ada kelemahan, kekurangan serta kesalahan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran-saran dan bimbingan untuk melakukan perbaikan. Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis hususnya dan umumnya bagi para pembaca.
Penulis
Sementara Mumtaz Ahmad (1993:59). berpendapat, Dalam Islam, Negara didirikan atas prinsip-prinsip tertentu yang ditetapkan Al Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Prinsip pertama adalah bahwa seluruh kekuasaan dialam semesta ada pada Allah karena Ia yang telah menciptakannya. Maka, menurut keimanan seorang muslim, hanya Allah yang harus ditaati; orang dapat ditaati hanya bila Allah memerintahkannya. Prinsip kedua adalah bahwa hukum Islam ditetapkan oleh Allah dalam Al Qur’an dan Sunah Nabi, sedangkan Sunnah Nabi merupakan penjelasan otoritatif tentang Al Qur’an. Ketentuan-ketentuan ini untuk membimbing umat manusia, diturunkan pada para nabi dari waktu kewaktu, yang terakhir adalah Nabi Muhammad SAW. yang melalui beliaulah agama disempurnakan. Allah telah menempatkan pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan dalam sifat manusia, dan lalu menjelaskannya dalam Al Qur’an dengan memakai amawar dan nawahi (perintah dan larangan Al Qur’an). Berdasarkan keyakinan-keyakinan tersebut, kaum muslim selalu memahami bahwa mereka harus melaksanakan peraturan-peraturan yang telah ada dalam segala bidang kehidupan mereka, bukannya menciptakan hukum-hukum baru.
Secara teoritis, penguasa sebuah Negara Islam tidak memiliki kekuasaan mutlak, demikian juga parlemen ataupun rakyat, karena kekuasaan mutlak itu hanya milik Allah semata-mata, dan hukum-Nya harus tetap berkuasa. memakai istilah masa kini, konstitusi Islam hanya mempunyi dua organ penting: eksekutif dan yudikatif. Organ penting yang memungkinkan yaitu; legislative – secara konstitusional tidak diberi batasan, karena semua undag-undang telah ditetapkan dalam Al Qur’an oleh Allah. Adalah tugas pemerintah untuk melaksanakannya, bukan mengubahnya untuk kepentingannya sendiri. Kalau dibutuhkan perundang-undangan tentang persoalan-persoalan yang tidak dispesifikasikan oleh syari’ah, hal itu dapat dilakukan setelah proses konsultasi dengan syura.
Senada dengan itu, Yudana, & Gunakaya (1987:28) menambahkan Pemerintah dalam arti luas adalah Segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara itu sendiri. Jadi tidak diartikan sebagai pemerintah yang hanya menjalankan tugas eksekutif saja, melainkan juga meliputi tugas-tugas lainnya termasuk legeslatif dan yudikatif.
B.Bentuk Dan Sistem Pemerintahan.
1.Bentuk Pemerintahan.
Pada zaman dahulu bentuk pemerintahan dibedakan menurut jumlah orang yang memegang kekuasaan pemerintah. Atas dasar ini bentuk pemeritahan itu dapat di bagi menjadi 3, yaitu Monarkhi, Oligarkhi, dan Demokrasi. Pembagian bentuk pemerintahan menjadi monarkhi, oligarkhi,dan demokrasi seperti tersebut diatas sekarang sudah tidak dipakai lagi. Bentuk pemerintahan yang dipakai sekarang ialah yang didasarkan atas cara menunjuk kepala Negara. Pembagian ini pertama kali dikemukakan oleh seorang sarjana Perancis bernama Duguit.
Atas dasar ini bentuk pemerintahan dibedakan menjadi dua, yaitu:
a.Monarkhi.
Arti Monarkhi itu sekarang sama dengan kerajaan. Suatu Negara disebut monarkhi apabila Negara itu dikepalai oleh seorang raja yang menjadi kepala Negara karena hak waris. Kalau seorang raja meninggal, maka jabatan kepala Negara diwariskan kepada keturunannya atau keluarga raja yang telah meninggal itu.
Monarkhi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1)Monarkhi Absolut.
Dalam Monarkhi Absolut atau kerajaan mutlak, raja mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas.
2)Monarkhi Konstitusional.
Dalam Negara yang bentunya monarkhi konstitusional, kekuasaan raja tidak lagi mutlak (absolute), tetapi sudah dibatasi dengan konstitusi. Pada bentuk pemerintahan ini sudah ada Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi kekuasaannya masih belum luas, hanya sekedar mengawasi tindakan raja saja.
3)Monarkhi parlementer
Pada bentuk pemerintahan monarkhi parlementer ini kekuasaan DPR sudah besar. Titik berat kekuasaan tertinggi tidak lagi ditagan raja, melainkan terletak ditanga parlemen. Dari uraian diatas kelihatan bahwa raja tidak lagi memegang pemeritahan secara nyata, melainkan para menterilah yang bertanggung jawabatas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untu bagiannya sendiri.
b.Republik.
Arti Republik menurut pengertian sekarang ialah suatu Negara yang kepala negaranya bukanlah seorang raja, melainkan lazimnya seorang presiden, yang menjadi kepala Negara tidak karena hak waris turun-temurun, melainkan ia menjadi kepalanegara karena dipilih, baik dipilih secara langsung oleh rakyat yang berhak, maupun dipilih oleh suatu badan yang dikuasakan untuk itu.
Jadi perbedaan antara kerajaan (monarkjhi) dengan republic terletak pada bagaimana cara menetapkan kepala negaranya. Kalau cara menetapkan kepala negaranya karena hak warisan turun temurun, maka Negara itu adalah kerajaan, tetapi kalau penetapan kepala negaranya dengan jalan dipilih, maka Negara itu adalah suatu republik.
Seperti pada bentuk monarkhi, republik dibagi menjadi:
1.Republik Absolut.
2.Republik Konstitusional.
3.Republik parlementer.
Apa yang berlaku pada macam-macam monarkhi seperti diatas, berlaku juga untuk macam-macam republic ini.
Suatu republic absolute biasanya disebut juga dictator, dan kepala negaranya yang memegang kekuasaan absolute disebut dictator. Dalam Negara dictator ini seperti juga dalam monarkhi absolute, mudah sekali timbulnya tindakan sewenang-wenang.
Pada zaman dahulu arti republic hampir sama denga demokrasi. Kata republic berasal dari res publika artinya urusan umum atau urusan rakyat. Tiap-tiap Negara republic, pemerintahannya pasti demokratis, tetapi sebaliknya tiap-tiap Negara monarkhi, pemerintahannya pasti tidak demokratis.
2.Sistem pemerintahan.
Sistem pemerintahan adalah merupakan gabungan dari dua istilah yaitu system dan pemerintahan.
Sistem adalah suatu keseluruhan, terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional baik antara bagian-bagian maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhannya, sehingga hubungan itu menimbulkan suatu ketergantungan antara bagian-bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi keseluruhannya.
Pemerintah dalam arti luas adalah Segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara itu sendiri. Jadi tidak diartikan sebagai pemerintah yang hanya menjalankan tugas eksekutif saja, melainkan juga meliputi tugas-tugas lainnya termasuk legeslatif dan yudikatif.
Jadi dengan demikian membicarakan system pemerintahan adalah membicarakan bagaimana pembagian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga Negara yang menjalankan kekuasaan-kekuasaan negeri itu, dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat.
Sistem pemerintahan itu ada dua yaitu:
1.Sistem pemerintahan presidensial.
Sistem pemerintahan presidensial adalah Presiden menjadi kepala eksekutif mengangkat serta memberhentikan para menteri, dan para menteri ini bertanggung jawab kepada presiden.
2.Sistem pemerintahan parlementer.
Sistem pemerintahan parlementer adalah kekuasaan pemerintahan (eksekutif) tidak lagi dipegang oleh presiden tetapi dipegang oleh perdana menteri. Demikian juga para menterinya tidak lagi bertanggung jawab kepada presiden, melainkan para menteri sebagai anggauta cabinet harus bertangung jawab kepada perdana menteri. Karena perdana menterilah sebagai pemimpin cabinet. (Yudana, &Gunakaya,1987:28)
C.Pemerintahan Menurut Islam.
1.Al Khilafah.
Rasjid Sulaiman (1954:465) mengatakan, Al khilafah ialah Suatu susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran Agama Islam, sebagai yang dibawa dan dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW, semasa hidup beliau. Dan kemudian dijalan kan oleh khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar Bin Khothob, Utsman Bin Affan, dan Ali Bin Abu Tholib). Kepala Negaranya dinamakan Kholifah.
Telah sepakat Umat Muslim (Ijam’ yang mu’tabar), bahwa hukum men dirikan Khilafah itu adalah Fardlu Kifayah atas semua umat muslim. Alasannya;
1)Ijma’ sahabat; sehingga mereka mendahulukan permusyawaratan tentang khilafah dari pada urusan janazah Rasulullah SAW. Ketika itu sungguhh ramai dibicarakan soal khilafah itu oleh pemipi-pemimpin Islam, berupa perdebatan, pertimbangan, akhirnya tercapailah kata sepakat memilih Abu Bakar menjadi Kholifah, kepala Negara Islam yang pertama sesudah Rasulullah SAW.
2)Tidak mungkin dapat menyempurnakan kewajiban, seperti pembelaan agama, menjaga keamanan dan sebagainya melainkan dengan adanya Khilafah (pemerintahan).
3)Beberapa ayat Al Qur’an dan Hadist yang menyuruh kita umat Islam mentaatinya, yang dengan tegas menjadi janji yang pasti dari pada Allah SWT. Kepada Muslimin yang mula-mulanya diwaktu itu hidup dalam ketakutan, kegelisahan, dan kedlaliman, tetapi mereka terus berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, bahwa mereka akan menjadi Kholifah dimuka bumi ini, (QS.An Nur:55).
2.Hak Mengangkat Dan Memecat Kholifah.
Telah sepakat ulama’ , bahwa memilih kholifah adalah fardlu kifayah atas Ahlul Halli wal Aqdi kalangan ummat, hanya mereka berlainan faham dalam mengartikan kata Ahlul Halli wal Aqdi siapakah, bagaimanakah sifatnya dan apakah mereka semua ikut memilih atau cukup dengan sebagian dari mereka saja? Yang lebih hak diantara pendapat-pendapat itu adalah:
Yang dimaksud dengan Ahlul Halli wal Aqdi adalah para ulama’ cerdik pandai dan pemimpin-pemimpin yang mempunyai kedudukan dalam masyarakat dipercaya oleh seluruh rakyat, sehingga buah pilihan mereka nanti akan ditaati serta ditunduki oleh seluruh rakyat. Berarti dengan pemilihan itu kedaulatan akan didukung oleh seluruh ummat. Kata Ramli dalam Rasjid Sulaiman (1954:465) karena dengan mereka pekerjaan jadi teratur dan umat bisa tenteram. Sesungguhnya kalau kita selidiki lebih jauh pemilihan kholifah yang empat (Kholifaur Rosyidin) memang begitu, sehingga Umar diangap salah ketika beliau memilih Abu Bakar (Kholifah pertama) sebelum cukup permusyawaratan selurauh Ahlul Halli wal Aqdi. Dalam beberapa riwayat diterangkan bahwa Abu Bakar sewaktu beliau mencalonkan Umar bin Khotthob untuk menjadi Kholifah penganti beliau, belaiau sungguh banyak bermusyawaroh dengan sahabat-sahabat terkemuka, mereka semua tidak ada yang mencela Umar selain dari tabiatnya yang keras, walaupun mereka mengetahui bahwa Umar keras dalam kebenaran. Jawab Abu Bakar kepada mereka, apabila ia diserahi pimpinan ia tentu akan ramah dan lemah pada tempatnya walaupun ia akan tetap keras apabila perlu. Begitulah seharusnya cara dan jalannya pemilihan Khulafaur Rasyidin yang hendaknya patut menjadi contoh dan teladan bagi kita.
Selanjutnya Mumtaz Ahmad (1993:64) memberi komentar bahwa menanggapi situasi sosial politik pada zamannya, Umar, sebelum meninggalnya, membentuk badan pemilih yang bertugas memilih calon dan memerintahkan mereka untuk memilih salah seorang dari mereka sebagai pengantinya. Badan pemilih tersebut terdiri dari Ali, Utsman, Abdur Rahman, Sa’ad, Zubair, dan Talhah. Umar juga menunjuk Abdullah, anaknya, untuk memberikan suara yang bersifat memutuskan kalau terdapat jumlah suara yang sama. Meskipun demikian, Umar tidak menunjuk Abdullah sebagai gantinya. Dewan tersebut, melalui proses eliminasi, memberikan wewenang kepada Abdur Rahman untuk merekomendasikan apakah Ali atau Utsman yang akan mengantikan Umar. Menurut riwayat, Abdur Rahman bermusyawarah dengan sebanyak mungkin orang dimadinah, termasuk wanita, pelajar, dan orang-orang yang berasal dari luar atau yang kebetulan berada di Madinah sebagai musafir. Kebanyakan dari mereka mendukung Utsman, bahkan Abdur Rahman mewawancarai Ali dan Utsman mengenai bagaimana mereka akan memerintah Negara apabila menjadi pemimpin. Akhirnya Abdur Rahman mendukung Utsman, dan Utsman pun terpilih menjadi calon tunggal. Kemudian masyarakatmuslim lainnya memberikan sumpah setia kepadanya.
Setelah pembunuhan terhadap Utsman, rakyat Madinah berkumpul di rumah Ali, dan meminta Ali untuk menjadi pengganti. Abbas, paman nabi, mendukungnya sebagai calon tungal. Ali menolak untuk menerima bay’ah pribadi, dan menegaskan apabila masyarakat muslim berkeinginan membay’atnya sebagai kholifah, maka harus dilakukan secara terbuka di masjid Nabi. Permintaan Ali itu pun kemudian dilaksanakan.
Akhirnya Rasjid S, (1954:466) memberikan kesimpulan, jadi menurut riwayat yang sah hendaklah pemilihan itu dengan sepakat mereka (Ahlul Halli wal Aqdi), atau sedikitnya dengan sepakat mereka yang lebih terkemuka dari kalangan ahli pengetahuan.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa yang berhak mengangkat kholifah-kholifah ialah rakyat maka yang berhak memperhentikan juga rakyat. Rozi mengatakan dalam Rasjid S, (1954:469) “pimpinan umum itu hak rakyat, maka rakyat berhak memperhantikan kholifah jika dipandang perlu”. Apakah maksud Rozi dengan katanya “pemimpin”?
Hal ini menjadi pertanyaan. Kalau pimpinan itu hak rakyat siapakah yang dipimpin? Pertanyaan ni dijawab oleh Sa’ad, maksud razi dengan rakyat ialah Ahlul Halli wal Aqdi.
Firman Allah SWT.
Orang-orang yang mengikut perintah Tuhan, mengerjakan sembahyang, urusan mereka dilakukan dengan permusyawaratan diantara esame mereka, dan mereka belanjakan sebahagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka. QS.Asy Syura : 38.
3.Hak Berpolitik.
Dari nash-nash autentik, terdapat suatu ayat dasar dalam Al Qur’an yang menunjukkan adanya perbedaan dalam hak berpolitik.(QS. IV:59). Kita ketahui bahwa ayat ini hanya ditujukan kepada kaum muslimin dengan firman-Nya “Wahai orang-orang yang beriman” Jadi kekuasaan yang ada setelah Muhammad adalah terbatas kepada para penguasa dari kaum muslimin (Yang beriman).
Sehubungan dengan hal tersebut Maudoodi dalam Ramadan Said, (1970:127) memberi tambahan, Kita katakan bahwa warga non muslim berhak untuk mengeluarkan suara atau menjadi anggauta lembaga parlemen. Adalah benar bahwa system parlementer adalah lembaga modern yang dianggap sebagai pancaran dari prinsip dasar Agama Islam. Kita dapat melihat dalam konstitusi yang dicetuskan dalam Negara kota Madinah beberapa kalimat yang berbunyi, “Harus selalu ada saling bermusyawarah dan menasehati (antar warga muslim dan warga Yahudi)”; dan “harus ada tanggung jawab bersama untuk pertahanan….” ; dan “orang yahudi harus membentuk biaya peperangan bersama kaum muslimin…” Kita juga telah mengutip pernyataan Rasulullah bahwa hak dan kewajiban bagi kaum muslimin dan warga non muslim adalah sama dan saling berkaitan. Kenyataan tersebut secara terus terang membuktikan bahwa warga non muslim berhak untuk memberikan suara atau menjadi angauta dalam lembaga parlemen. Di segi lain, parlemen mempunyai kekuasaan legislative yang harus tunduk kepada nash-nash Hukum Islam yang tidak diyakini oleh warga non muslim. Masalah ini dapat dipecahkan dengan membuat konstitusi bahwa ultra vires (adalah diluar kekuasaan) parlemen atau kekuasaan legeslatif untuk membuat hukum yang bertentangan dengan Qur’an dan Sunnah.
4.Hukum Ketatanegaraan Islam.
Sejalan dengan pemahaman seperti diatas, maka suatu pemerintahan yang didirikan oleh masyarakat muslim juga harus mengindahkan dasar-dasar yang telah diberikan leh Islam. Tidak setiap bentuk pemerintahan ditoleransi oleh syari’ah. Sampai sekarang, pendapat Syekh Ali Abdur Roziq yang dikemukakan dalam bukunya Al Islam wa USHUL Al Hukum pada 1925, yang mengatakan bahwa pemerintahan menurut Islam boleh mengambil bentuk apa saja, tidak pernah diterima oleh umat. Secara ganjil Raziq mengatakan bahwa Rasul SAW. hanya bertugas mendakwahkan Agama, dan tidak ada kaitan apapun dengan urusan kenegaraan. Karena itu menurutnya, Islam dapat saja menerima otokrasi atau demokrasi, monarkhi atau republic, kediktatoran atau pemerintahan konstitusional, dan tidak mempedulikan ahakikat suatu Negara itu demokratis, sosialis atau bolshevis
Tentu saja argument Raziq sangat lemah dan tidak dapat dipertahankan, karena pemerintahan yang didirikan dengan bimbingan Islam (Syari’ah Islamiyah) mempunyai tujuan ganda yang tipikal, yaitu menjamin tegaknya keyakinan (ad-din) dan menjamin terpenuhinya kepentingan rakyat. Namun kedua uuan ini bukanlah tuuan akhir, melainka merupakan tujuan antara untuk mencapai kebahagiaan (falah) di akhirat.
Dalam pandangan Islam, komitmen suatu pemerintahan untuk encapai tujuan ganda seperti dikemukakan diatas akan menentukan apakah pemerintaha itu memiliki legitimasi atau tidak. Selama suatu pemerintahan tetap setia pada tujuan gandanya, yaitu pemantapan keyakinan dan pemenuhan kepentingan rakyat, maka pemerintahan secara hukum Islam memenuhi “syarat permulaan” (syarth ibtida’) dan “syarat pelestarian(syarth baqa’). Sebaliknya, bila suatu pemerintahan tidak lagi setia pada tujuannya, dan melangar syarat-syarat itu, maka secara hukum (ipso jure) pemerintahan itu dengan sendirinya berakhir, kehilangan legitimasi, dan rakyat tidak lagi mendukungnya. (Rais Amin, 1987:53).
5.Nilai-nilai politik yang harus ditegakkan.
Bila kita mempelajari Al Qur’an dan Sunnah kita dapat memahami adanya nilai-nilai politik atau prinsip-prinsip konstitusional yang harus ditegakkan dan dijadikan pilar-pilar pengelolaan suatu pemerintahan (Negara), yaitu syura, keadilan, kebebasan atau kemerdekaan, persamaan, dan tanggung jawaban penguasa dihadapan rakyat.
Para ulama’ berpendapat bahwa setiap penguasa diwajibkan melaksanakan syura dengan ummat, dalam semua hal yang berkenaan denngan urusan umum. Umat punya hak penuh untuk menuntut penguasa agar mengadakan syura. Keadilan merupakan nilai terpenting dalam hukum Islam. Barangkali tidak ada system hukum sebelum Islam yang menempatkan keadila sebagai titik sentral dalam seluruh bangunan hukumnya. Al Qur’an dan Sunah memberikan isyarat sangat tegas bahwa keadilan adalah suatu konsep yang utuh. Kebebasan atau kemerdekaan merupakan nilai yang juga amat diperhatikan oleh syari’ah. Para sarjana hukum konstitusional modern pada umumnya berpendapat bahwa kebebasan itu memiliki beberapa cabang, al; kebebasan berfikir dan beragama, kebebasan mimbar, hak untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan secara bebas, kebebasan pribadi yang mencakup hak untuk hidup, merdeka dan aman, hak untuk berpindah tempat (freedom of movement) dan sebagainya. Persamaan (ekualitas) juga harus menjadi prinsip konstitusional yang diutamakan. Manusia harus berdiri sama didepan hukum (ekuality before the law), tanpa diskriminasi berdasarkan ras, asal-usul, bahasa, keyakinan, pangkat, atau latar belakang sosial ekonomi. Akhirnya, penguasa harus selalu dapat mempertanggung jawabkan kebijakan yang diambil dihadapan rakyatnya.
Kelima nilai politik atau prinsip konstitusional diatas harus dijadikan pedoman dalam membangun suatu Negara yang islami. Syariat tidak berbicara mendetail mengenai aspek-aspek kelembagaan, tekhnik dan prosedur pengelolaan suatu Negara, agar kita secara cerdas dan kreatif dapat merumuskan keperluan-keperluan kita sesuai dengan perkembangan zaman.
2.Pada zaman dahulu bentuk pemerintahan dibedakan menurut jumlah orang yang memegang kekuasaan pemerintah. Atas dasar ini bentuk pemeritahan itu dapat di bagi menjadi 3, yaitu Monarkhi, Oligarkhi, dan Demokrasi. Pembagian bentuk pemerintahan menjadi monarkhi, oligarkhi,dan demokrasi seperti tersebut diatas sekarang sudah tidak dipakai lagi. Bentuk pemerintahan yang dipakai sekarang ialah yang didasarkan atas cara menunjuk kepala Negara. Pembagian ini pertama kali dikemukakan oleh seorang sarjana Perancis bernama Duguit.
3.Bentuk pemerintahan dibedakan menjadi dua, yaitu:
Monarkhi.
Republik.
4.system pemerintahan adalah membicarakan bagaimana pembagian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga Negara yang menjalankan kekuasaan-kekuasaan negeri itu, dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat.
5.Sistem pemerintahan itu ada dua yaitu:
Sistem pemerintahan presidensial.
Sistem pemerintahan parlementer.
6.Telah sepakat Umat Muslim (Ijam’ yang mu’tabar), bahwa hukum men dirikan Khilafah itu adalah Fardlu Kifayah atas semua umat muslim.
7.Yang dimaksud dengan Ahlul Halli wal Aqdi adalah para ulama’ cerdik pandai dan pemimpin-pemimpin yang mempunyai kedudukan dalam masyarakat dipercaya oleh seluruh rakyat
8.Sebagaimana telah dijelaskan bahwa yang berhak mengangkat kholifah-kholifah ialah rakyat maka yang berhak memperhentikan juga rakyat. Rozi mengatakan dalam Rasjid S, (1954:469) “pimpinan umum itu hak rakyat, maka rakyat berhak memperhantikan kholifah jika dipandang perlu”.
9.Kita katakan bahwa warga non muslim berhak untuk mengeluarkan suara atau menjadi anggauta lembaga parlemen. Adalah benar bahwa system parlementer adalah lembaga modern yang dianggap sebagai pancaran dari prinsip dasar Agama Islam.
10.suatu pemerintahan yang didirikan oleh masyarakat muslim juga harus mengindahkan dasar-dasar yang telah diberikan oleh Islam. Tidak setiap bentuk pemerintahan ditoleransi oleh syari’ah.
11.Dalam pandangan Islam, komitmen suatu pemerintahan untuk mencapai tujuan ganda seperti dikemukakan diatas akan menentukan apakah pemerintaha itu memiliki legitimasi atau tidak.
12.Bila kita mempelajari Al Qur’an dan Sunnah kita dapat memahami adanya nilai-nilai politik atau prinsip-prinsip konstitusional yang harus ditegakkan dan dijadikan pilar-pilar pengelolaan suatu pemerintahan (Negara), yaitu syura, keadilan, kebebasan atau kemerdekaan, persamaan, dan tanggung jawaban penguasa dihadapan rakyat.
1.Ahmad, Mumtaz, 1993. Masalah-Masalah Teori Politik Islam. Bandung : Mizan.
2.Gunakaya, widiana, SH, 1987. Penuntun pelajaran Tata Negara SMA Kelas I A3 & II A4 Semester 3 & 4. Bandung : Ganeca Exact.
3.Rais, Amin, Dr. 1987. Cakrawala Islam antara cita dan fakta. Bandung : Mizan.
4.Ramadan, Said, 1986. Hukum Islam Ruang Lingkup Dan Kandungannya. Jakarta : CV Gaya Media Pratama.
5.Rasjid, Sulaiman, H, 1976. Fiqh Islam. Jakarta : Attahiriyah.
6.Yudana, Made, I, Drs, 1988. Penuntun Pelajaran Tata Negara SMA Kelas III A3 & III A4 Semester 5 & 6. Bandung : Ganeca Exact.
MENURUT AGAMA ISLAM
OLEH:
MIFTACHUL MA’AYIS
N.I.M : 93111388
N.I.M.K.O : 93.4.58.0101.00294
SEMESTER : VI
MIFTACHUL MA’AYIS
N.I.M : 93111388
N.I.M.K.O : 93.4.58.0101.00294
SEMESTER : VI
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
STIT
MASKUMAMBANG GRESIK
KATA PENGANTAR
STIT
MASKUMAMBANG GRESIK
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT. semata yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah yang berjudul “BENTUK DAN SITEM PEMERINTAHAN MENURUT AGAMA ISLAM”
Penulis menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna dan juga ada kelemahan, kekurangan serta kesalahan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran-saran dan bimbingan untuk melakukan perbaikan. Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis hususnya dan umumnya bagi para pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
BAB II PEMBAHASAN
A.PENGERTIAN PEMERINTAH
B.BENTUK DAN SISTEM PEMERINTAHAN.
1.Bentuk Pemerintahan
2.Sistem Pemerintahan
C.PEMERINTAHAN MENURUT ISLAM
1.Al Khilafah
2.Hak Mengangkat Dan Memecat Kholifah
3.Hak Berpolitik
4.Hukum ketatanagaraan Islam
5.Nilai-nilai politik yang harus ditegakkan
BAB I PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
BAB II PEMBAHASAN
A.PENGERTIAN PEMERINTAH
B.BENTUK DAN SISTEM PEMERINTAHAN.
1.Bentuk Pemerintahan
2.Sistem Pemerintahan
C.PEMERINTAHAN MENURUT ISLAM
1.Al Khilafah
2.Hak Mengangkat Dan Memecat Kholifah
3.Hak Berpolitik
4.Hukum ketatanagaraan Islam
5.Nilai-nilai politik yang harus ditegakkan
BAB III PENUTUP
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar belakang.
Islam sebagai agama wahyu, bagi setiap muslim menjadi kerangka acuan paripurna untuk seluruh kehidupannya. Memang ada sekelompok Muslim yang bersikap skeptis terhadap kemampuan islam untuk menjadi asas yang sempurna bagi kehidupan manusia, sehingga bukan saja Islam lalu di pandang sebagai suatu pelengkap bagi ideolodi tertentu, melainkan juga kadangkala Islam malah disubordinasikan pada suatu ideology buatan manusia (man-made). Pandangan seperti ini sudah tentu merupakan pandangan sekularistis, yang tidak dapat menerima Islam secara utuh (kaffah). Berdasarkan pandangan sekularistis inilah sering muncul pendapat-pendapat yang mengatakan, misalnya, bahwa Islam tidak mempunyai konsep Ketatanegaraan; Islam tidak mempunyai preskripsi-preskripsi dasar tentang pengelolaan ekonomi, Islam hanyalah agama yang memberikan tuntunan moral saja; hukum-hukum Islam yang bersumber pada Al Qur’an perlu direvisi, supaya sesuai dengan konteks masyarakat modern, dan sebagainya. (Rais Amin, 1987:50).PENDAHULUAN
A.Latar belakang.
Sementara Mumtaz Ahmad (1993:59). berpendapat, Dalam Islam, Negara didirikan atas prinsip-prinsip tertentu yang ditetapkan Al Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Prinsip pertama adalah bahwa seluruh kekuasaan dialam semesta ada pada Allah karena Ia yang telah menciptakannya. Maka, menurut keimanan seorang muslim, hanya Allah yang harus ditaati; orang dapat ditaati hanya bila Allah memerintahkannya. Prinsip kedua adalah bahwa hukum Islam ditetapkan oleh Allah dalam Al Qur’an dan Sunah Nabi, sedangkan Sunnah Nabi merupakan penjelasan otoritatif tentang Al Qur’an. Ketentuan-ketentuan ini untuk membimbing umat manusia, diturunkan pada para nabi dari waktu kewaktu, yang terakhir adalah Nabi Muhammad SAW. yang melalui beliaulah agama disempurnakan. Allah telah menempatkan pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan dalam sifat manusia, dan lalu menjelaskannya dalam Al Qur’an dengan memakai amawar dan nawahi (perintah dan larangan Al Qur’an). Berdasarkan keyakinan-keyakinan tersebut, kaum muslim selalu memahami bahwa mereka harus melaksanakan peraturan-peraturan yang telah ada dalam segala bidang kehidupan mereka, bukannya menciptakan hukum-hukum baru.
Secara teoritis, penguasa sebuah Negara Islam tidak memiliki kekuasaan mutlak, demikian juga parlemen ataupun rakyat, karena kekuasaan mutlak itu hanya milik Allah semata-mata, dan hukum-Nya harus tetap berkuasa. memakai istilah masa kini, konstitusi Islam hanya mempunyi dua organ penting: eksekutif dan yudikatif. Organ penting yang memungkinkan yaitu; legislative – secara konstitusional tidak diberi batasan, karena semua undag-undang telah ditetapkan dalam Al Qur’an oleh Allah. Adalah tugas pemerintah untuk melaksanakannya, bukan mengubahnya untuk kepentingannya sendiri. Kalau dibutuhkan perundang-undangan tentang persoalan-persoalan yang tidak dispesifikasikan oleh syari’ah, hal itu dapat dilakukan setelah proses konsultasi dengan syura.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.Pengertian Pemerintah.
Gunakaya. W. & Surayin, (1987:76) menjelaskan, Pimpinan Negara tertinggi terletak dalam tangan suatu badan Negara yang pada umumnya disebut pemerintah. Kata pemerintah mempunyai bermacam-macam arti, tetapi secara umum yang dimaksud pemerintah ialah suatu badan atau gabungan badan Negara yang tertinggi yang berkuasa memerintah sesuatu daerah.Senada dengan itu, Yudana, & Gunakaya (1987:28) menambahkan Pemerintah dalam arti luas adalah Segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara itu sendiri. Jadi tidak diartikan sebagai pemerintah yang hanya menjalankan tugas eksekutif saja, melainkan juga meliputi tugas-tugas lainnya termasuk legeslatif dan yudikatif.
B.Bentuk Dan Sistem Pemerintahan.
1.Bentuk Pemerintahan.
Pada zaman dahulu bentuk pemerintahan dibedakan menurut jumlah orang yang memegang kekuasaan pemerintah. Atas dasar ini bentuk pemeritahan itu dapat di bagi menjadi 3, yaitu Monarkhi, Oligarkhi, dan Demokrasi. Pembagian bentuk pemerintahan menjadi monarkhi, oligarkhi,dan demokrasi seperti tersebut diatas sekarang sudah tidak dipakai lagi. Bentuk pemerintahan yang dipakai sekarang ialah yang didasarkan atas cara menunjuk kepala Negara. Pembagian ini pertama kali dikemukakan oleh seorang sarjana Perancis bernama Duguit.
Atas dasar ini bentuk pemerintahan dibedakan menjadi dua, yaitu:
a.Monarkhi.
Arti Monarkhi itu sekarang sama dengan kerajaan. Suatu Negara disebut monarkhi apabila Negara itu dikepalai oleh seorang raja yang menjadi kepala Negara karena hak waris. Kalau seorang raja meninggal, maka jabatan kepala Negara diwariskan kepada keturunannya atau keluarga raja yang telah meninggal itu.
Monarkhi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1)Monarkhi Absolut.
Dalam Monarkhi Absolut atau kerajaan mutlak, raja mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas.
2)Monarkhi Konstitusional.
Dalam Negara yang bentunya monarkhi konstitusional, kekuasaan raja tidak lagi mutlak (absolute), tetapi sudah dibatasi dengan konstitusi. Pada bentuk pemerintahan ini sudah ada Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi kekuasaannya masih belum luas, hanya sekedar mengawasi tindakan raja saja.
3)Monarkhi parlementer
Pada bentuk pemerintahan monarkhi parlementer ini kekuasaan DPR sudah besar. Titik berat kekuasaan tertinggi tidak lagi ditagan raja, melainkan terletak ditanga parlemen. Dari uraian diatas kelihatan bahwa raja tidak lagi memegang pemeritahan secara nyata, melainkan para menterilah yang bertanggung jawabatas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untu bagiannya sendiri.
b.Republik.
Arti Republik menurut pengertian sekarang ialah suatu Negara yang kepala negaranya bukanlah seorang raja, melainkan lazimnya seorang presiden, yang menjadi kepala Negara tidak karena hak waris turun-temurun, melainkan ia menjadi kepalanegara karena dipilih, baik dipilih secara langsung oleh rakyat yang berhak, maupun dipilih oleh suatu badan yang dikuasakan untuk itu.
Jadi perbedaan antara kerajaan (monarkjhi) dengan republic terletak pada bagaimana cara menetapkan kepala negaranya. Kalau cara menetapkan kepala negaranya karena hak warisan turun temurun, maka Negara itu adalah kerajaan, tetapi kalau penetapan kepala negaranya dengan jalan dipilih, maka Negara itu adalah suatu republik.
Seperti pada bentuk monarkhi, republik dibagi menjadi:
1.Republik Absolut.
2.Republik Konstitusional.
3.Republik parlementer.
Apa yang berlaku pada macam-macam monarkhi seperti diatas, berlaku juga untuk macam-macam republic ini.
Suatu republic absolute biasanya disebut juga dictator, dan kepala negaranya yang memegang kekuasaan absolute disebut dictator. Dalam Negara dictator ini seperti juga dalam monarkhi absolute, mudah sekali timbulnya tindakan sewenang-wenang.
Pada zaman dahulu arti republic hampir sama denga demokrasi. Kata republic berasal dari res publika artinya urusan umum atau urusan rakyat. Tiap-tiap Negara republic, pemerintahannya pasti demokratis, tetapi sebaliknya tiap-tiap Negara monarkhi, pemerintahannya pasti tidak demokratis.
2.Sistem pemerintahan.
Sistem pemerintahan adalah merupakan gabungan dari dua istilah yaitu system dan pemerintahan.
Sistem adalah suatu keseluruhan, terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional baik antara bagian-bagian maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhannya, sehingga hubungan itu menimbulkan suatu ketergantungan antara bagian-bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi keseluruhannya.
Pemerintah dalam arti luas adalah Segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara itu sendiri. Jadi tidak diartikan sebagai pemerintah yang hanya menjalankan tugas eksekutif saja, melainkan juga meliputi tugas-tugas lainnya termasuk legeslatif dan yudikatif.
Jadi dengan demikian membicarakan system pemerintahan adalah membicarakan bagaimana pembagian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga Negara yang menjalankan kekuasaan-kekuasaan negeri itu, dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat.
Sistem pemerintahan itu ada dua yaitu:
1.Sistem pemerintahan presidensial.
Sistem pemerintahan presidensial adalah Presiden menjadi kepala eksekutif mengangkat serta memberhentikan para menteri, dan para menteri ini bertanggung jawab kepada presiden.
2.Sistem pemerintahan parlementer.
Sistem pemerintahan parlementer adalah kekuasaan pemerintahan (eksekutif) tidak lagi dipegang oleh presiden tetapi dipegang oleh perdana menteri. Demikian juga para menterinya tidak lagi bertanggung jawab kepada presiden, melainkan para menteri sebagai anggauta cabinet harus bertangung jawab kepada perdana menteri. Karena perdana menterilah sebagai pemimpin cabinet. (Yudana, &Gunakaya,1987:28)
C.Pemerintahan Menurut Islam.
1.Al Khilafah.
Rasjid Sulaiman (1954:465) mengatakan, Al khilafah ialah Suatu susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran Agama Islam, sebagai yang dibawa dan dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW, semasa hidup beliau. Dan kemudian dijalan kan oleh khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar Bin Khothob, Utsman Bin Affan, dan Ali Bin Abu Tholib). Kepala Negaranya dinamakan Kholifah.
Telah sepakat Umat Muslim (Ijam’ yang mu’tabar), bahwa hukum men dirikan Khilafah itu adalah Fardlu Kifayah atas semua umat muslim. Alasannya;
1)Ijma’ sahabat; sehingga mereka mendahulukan permusyawaratan tentang khilafah dari pada urusan janazah Rasulullah SAW. Ketika itu sungguhh ramai dibicarakan soal khilafah itu oleh pemipi-pemimpin Islam, berupa perdebatan, pertimbangan, akhirnya tercapailah kata sepakat memilih Abu Bakar menjadi Kholifah, kepala Negara Islam yang pertama sesudah Rasulullah SAW.
2)Tidak mungkin dapat menyempurnakan kewajiban, seperti pembelaan agama, menjaga keamanan dan sebagainya melainkan dengan adanya Khilafah (pemerintahan).
3)Beberapa ayat Al Qur’an dan Hadist yang menyuruh kita umat Islam mentaatinya, yang dengan tegas menjadi janji yang pasti dari pada Allah SWT. Kepada Muslimin yang mula-mulanya diwaktu itu hidup dalam ketakutan, kegelisahan, dan kedlaliman, tetapi mereka terus berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, bahwa mereka akan menjadi Kholifah dimuka bumi ini, (QS.An Nur:55).
2.Hak Mengangkat Dan Memecat Kholifah.
Telah sepakat ulama’ , bahwa memilih kholifah adalah fardlu kifayah atas Ahlul Halli wal Aqdi kalangan ummat, hanya mereka berlainan faham dalam mengartikan kata Ahlul Halli wal Aqdi siapakah, bagaimanakah sifatnya dan apakah mereka semua ikut memilih atau cukup dengan sebagian dari mereka saja? Yang lebih hak diantara pendapat-pendapat itu adalah:
Yang dimaksud dengan Ahlul Halli wal Aqdi adalah para ulama’ cerdik pandai dan pemimpin-pemimpin yang mempunyai kedudukan dalam masyarakat dipercaya oleh seluruh rakyat, sehingga buah pilihan mereka nanti akan ditaati serta ditunduki oleh seluruh rakyat. Berarti dengan pemilihan itu kedaulatan akan didukung oleh seluruh ummat. Kata Ramli dalam Rasjid Sulaiman (1954:465) karena dengan mereka pekerjaan jadi teratur dan umat bisa tenteram. Sesungguhnya kalau kita selidiki lebih jauh pemilihan kholifah yang empat (Kholifaur Rosyidin) memang begitu, sehingga Umar diangap salah ketika beliau memilih Abu Bakar (Kholifah pertama) sebelum cukup permusyawaratan selurauh Ahlul Halli wal Aqdi. Dalam beberapa riwayat diterangkan bahwa Abu Bakar sewaktu beliau mencalonkan Umar bin Khotthob untuk menjadi Kholifah penganti beliau, belaiau sungguh banyak bermusyawaroh dengan sahabat-sahabat terkemuka, mereka semua tidak ada yang mencela Umar selain dari tabiatnya yang keras, walaupun mereka mengetahui bahwa Umar keras dalam kebenaran. Jawab Abu Bakar kepada mereka, apabila ia diserahi pimpinan ia tentu akan ramah dan lemah pada tempatnya walaupun ia akan tetap keras apabila perlu. Begitulah seharusnya cara dan jalannya pemilihan Khulafaur Rasyidin yang hendaknya patut menjadi contoh dan teladan bagi kita.
Selanjutnya Mumtaz Ahmad (1993:64) memberi komentar bahwa menanggapi situasi sosial politik pada zamannya, Umar, sebelum meninggalnya, membentuk badan pemilih yang bertugas memilih calon dan memerintahkan mereka untuk memilih salah seorang dari mereka sebagai pengantinya. Badan pemilih tersebut terdiri dari Ali, Utsman, Abdur Rahman, Sa’ad, Zubair, dan Talhah. Umar juga menunjuk Abdullah, anaknya, untuk memberikan suara yang bersifat memutuskan kalau terdapat jumlah suara yang sama. Meskipun demikian, Umar tidak menunjuk Abdullah sebagai gantinya. Dewan tersebut, melalui proses eliminasi, memberikan wewenang kepada Abdur Rahman untuk merekomendasikan apakah Ali atau Utsman yang akan mengantikan Umar. Menurut riwayat, Abdur Rahman bermusyawarah dengan sebanyak mungkin orang dimadinah, termasuk wanita, pelajar, dan orang-orang yang berasal dari luar atau yang kebetulan berada di Madinah sebagai musafir. Kebanyakan dari mereka mendukung Utsman, bahkan Abdur Rahman mewawancarai Ali dan Utsman mengenai bagaimana mereka akan memerintah Negara apabila menjadi pemimpin. Akhirnya Abdur Rahman mendukung Utsman, dan Utsman pun terpilih menjadi calon tunggal. Kemudian masyarakatmuslim lainnya memberikan sumpah setia kepadanya.
Setelah pembunuhan terhadap Utsman, rakyat Madinah berkumpul di rumah Ali, dan meminta Ali untuk menjadi pengganti. Abbas, paman nabi, mendukungnya sebagai calon tungal. Ali menolak untuk menerima bay’ah pribadi, dan menegaskan apabila masyarakat muslim berkeinginan membay’atnya sebagai kholifah, maka harus dilakukan secara terbuka di masjid Nabi. Permintaan Ali itu pun kemudian dilaksanakan.
Akhirnya Rasjid S, (1954:466) memberikan kesimpulan, jadi menurut riwayat yang sah hendaklah pemilihan itu dengan sepakat mereka (Ahlul Halli wal Aqdi), atau sedikitnya dengan sepakat mereka yang lebih terkemuka dari kalangan ahli pengetahuan.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa yang berhak mengangkat kholifah-kholifah ialah rakyat maka yang berhak memperhentikan juga rakyat. Rozi mengatakan dalam Rasjid S, (1954:469) “pimpinan umum itu hak rakyat, maka rakyat berhak memperhantikan kholifah jika dipandang perlu”. Apakah maksud Rozi dengan katanya “pemimpin”?
Hal ini menjadi pertanyaan. Kalau pimpinan itu hak rakyat siapakah yang dipimpin? Pertanyaan ni dijawab oleh Sa’ad, maksud razi dengan rakyat ialah Ahlul Halli wal Aqdi.
Firman Allah SWT.
Orang-orang yang mengikut perintah Tuhan, mengerjakan sembahyang, urusan mereka dilakukan dengan permusyawaratan diantara esame mereka, dan mereka belanjakan sebahagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka. QS.Asy Syura : 38.
3.Hak Berpolitik.
Dari nash-nash autentik, terdapat suatu ayat dasar dalam Al Qur’an yang menunjukkan adanya perbedaan dalam hak berpolitik.(QS. IV:59). Kita ketahui bahwa ayat ini hanya ditujukan kepada kaum muslimin dengan firman-Nya “Wahai orang-orang yang beriman” Jadi kekuasaan yang ada setelah Muhammad adalah terbatas kepada para penguasa dari kaum muslimin (Yang beriman).
Sehubungan dengan hal tersebut Maudoodi dalam Ramadan Said, (1970:127) memberi tambahan, Kita katakan bahwa warga non muslim berhak untuk mengeluarkan suara atau menjadi anggauta lembaga parlemen. Adalah benar bahwa system parlementer adalah lembaga modern yang dianggap sebagai pancaran dari prinsip dasar Agama Islam. Kita dapat melihat dalam konstitusi yang dicetuskan dalam Negara kota Madinah beberapa kalimat yang berbunyi, “Harus selalu ada saling bermusyawarah dan menasehati (antar warga muslim dan warga Yahudi)”; dan “harus ada tanggung jawab bersama untuk pertahanan….” ; dan “orang yahudi harus membentuk biaya peperangan bersama kaum muslimin…” Kita juga telah mengutip pernyataan Rasulullah bahwa hak dan kewajiban bagi kaum muslimin dan warga non muslim adalah sama dan saling berkaitan. Kenyataan tersebut secara terus terang membuktikan bahwa warga non muslim berhak untuk memberikan suara atau menjadi angauta dalam lembaga parlemen. Di segi lain, parlemen mempunyai kekuasaan legislative yang harus tunduk kepada nash-nash Hukum Islam yang tidak diyakini oleh warga non muslim. Masalah ini dapat dipecahkan dengan membuat konstitusi bahwa ultra vires (adalah diluar kekuasaan) parlemen atau kekuasaan legeslatif untuk membuat hukum yang bertentangan dengan Qur’an dan Sunnah.
4.Hukum Ketatanegaraan Islam.
Sejalan dengan pemahaman seperti diatas, maka suatu pemerintahan yang didirikan oleh masyarakat muslim juga harus mengindahkan dasar-dasar yang telah diberikan leh Islam. Tidak setiap bentuk pemerintahan ditoleransi oleh syari’ah. Sampai sekarang, pendapat Syekh Ali Abdur Roziq yang dikemukakan dalam bukunya Al Islam wa USHUL Al Hukum pada 1925, yang mengatakan bahwa pemerintahan menurut Islam boleh mengambil bentuk apa saja, tidak pernah diterima oleh umat. Secara ganjil Raziq mengatakan bahwa Rasul SAW. hanya bertugas mendakwahkan Agama, dan tidak ada kaitan apapun dengan urusan kenegaraan. Karena itu menurutnya, Islam dapat saja menerima otokrasi atau demokrasi, monarkhi atau republic, kediktatoran atau pemerintahan konstitusional, dan tidak mempedulikan ahakikat suatu Negara itu demokratis, sosialis atau bolshevis
Tentu saja argument Raziq sangat lemah dan tidak dapat dipertahankan, karena pemerintahan yang didirikan dengan bimbingan Islam (Syari’ah Islamiyah) mempunyai tujuan ganda yang tipikal, yaitu menjamin tegaknya keyakinan (ad-din) dan menjamin terpenuhinya kepentingan rakyat. Namun kedua uuan ini bukanlah tuuan akhir, melainka merupakan tujuan antara untuk mencapai kebahagiaan (falah) di akhirat.
Dalam pandangan Islam, komitmen suatu pemerintahan untuk encapai tujuan ganda seperti dikemukakan diatas akan menentukan apakah pemerintaha itu memiliki legitimasi atau tidak. Selama suatu pemerintahan tetap setia pada tujuan gandanya, yaitu pemantapan keyakinan dan pemenuhan kepentingan rakyat, maka pemerintahan secara hukum Islam memenuhi “syarat permulaan” (syarth ibtida’) dan “syarat pelestarian(syarth baqa’). Sebaliknya, bila suatu pemerintahan tidak lagi setia pada tujuannya, dan melangar syarat-syarat itu, maka secara hukum (ipso jure) pemerintahan itu dengan sendirinya berakhir, kehilangan legitimasi, dan rakyat tidak lagi mendukungnya. (Rais Amin, 1987:53).
5.Nilai-nilai politik yang harus ditegakkan.
Bila kita mempelajari Al Qur’an dan Sunnah kita dapat memahami adanya nilai-nilai politik atau prinsip-prinsip konstitusional yang harus ditegakkan dan dijadikan pilar-pilar pengelolaan suatu pemerintahan (Negara), yaitu syura, keadilan, kebebasan atau kemerdekaan, persamaan, dan tanggung jawaban penguasa dihadapan rakyat.
Para ulama’ berpendapat bahwa setiap penguasa diwajibkan melaksanakan syura dengan ummat, dalam semua hal yang berkenaan denngan urusan umum. Umat punya hak penuh untuk menuntut penguasa agar mengadakan syura. Keadilan merupakan nilai terpenting dalam hukum Islam. Barangkali tidak ada system hukum sebelum Islam yang menempatkan keadila sebagai titik sentral dalam seluruh bangunan hukumnya. Al Qur’an dan Sunah memberikan isyarat sangat tegas bahwa keadilan adalah suatu konsep yang utuh. Kebebasan atau kemerdekaan merupakan nilai yang juga amat diperhatikan oleh syari’ah. Para sarjana hukum konstitusional modern pada umumnya berpendapat bahwa kebebasan itu memiliki beberapa cabang, al; kebebasan berfikir dan beragama, kebebasan mimbar, hak untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan secara bebas, kebebasan pribadi yang mencakup hak untuk hidup, merdeka dan aman, hak untuk berpindah tempat (freedom of movement) dan sebagainya. Persamaan (ekualitas) juga harus menjadi prinsip konstitusional yang diutamakan. Manusia harus berdiri sama didepan hukum (ekuality before the law), tanpa diskriminasi berdasarkan ras, asal-usul, bahasa, keyakinan, pangkat, atau latar belakang sosial ekonomi. Akhirnya, penguasa harus selalu dapat mempertanggung jawabkan kebijakan yang diambil dihadapan rakyatnya.
Kelima nilai politik atau prinsip konstitusional diatas harus dijadikan pedoman dalam membangun suatu Negara yang islami. Syariat tidak berbicara mendetail mengenai aspek-aspek kelembagaan, tekhnik dan prosedur pengelolaan suatu Negara, agar kita secara cerdas dan kreatif dapat merumuskan keperluan-keperluan kita sesuai dengan perkembangan zaman.
BAB III
P E N U T U P
A.Kesimpulan
1.Pemerintah dalam arti luas adalah Segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara itu sendiri. Jadi tidak diartikan sebagai pemerintah yang hanya menjalankan tugas eksekutif saja, melainkan juga meliputi tugas-tugas lainnya termasuk legeslatif dan yudikatif.P E N U T U P
A.Kesimpulan
2.Pada zaman dahulu bentuk pemerintahan dibedakan menurut jumlah orang yang memegang kekuasaan pemerintah. Atas dasar ini bentuk pemeritahan itu dapat di bagi menjadi 3, yaitu Monarkhi, Oligarkhi, dan Demokrasi. Pembagian bentuk pemerintahan menjadi monarkhi, oligarkhi,dan demokrasi seperti tersebut diatas sekarang sudah tidak dipakai lagi. Bentuk pemerintahan yang dipakai sekarang ialah yang didasarkan atas cara menunjuk kepala Negara. Pembagian ini pertama kali dikemukakan oleh seorang sarjana Perancis bernama Duguit.
3.Bentuk pemerintahan dibedakan menjadi dua, yaitu:
Monarkhi.
Republik.
4.system pemerintahan adalah membicarakan bagaimana pembagian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga Negara yang menjalankan kekuasaan-kekuasaan negeri itu, dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat.
5.Sistem pemerintahan itu ada dua yaitu:
Sistem pemerintahan presidensial.
Sistem pemerintahan parlementer.
6.Telah sepakat Umat Muslim (Ijam’ yang mu’tabar), bahwa hukum men dirikan Khilafah itu adalah Fardlu Kifayah atas semua umat muslim.
7.Yang dimaksud dengan Ahlul Halli wal Aqdi adalah para ulama’ cerdik pandai dan pemimpin-pemimpin yang mempunyai kedudukan dalam masyarakat dipercaya oleh seluruh rakyat
8.Sebagaimana telah dijelaskan bahwa yang berhak mengangkat kholifah-kholifah ialah rakyat maka yang berhak memperhentikan juga rakyat. Rozi mengatakan dalam Rasjid S, (1954:469) “pimpinan umum itu hak rakyat, maka rakyat berhak memperhantikan kholifah jika dipandang perlu”.
9.Kita katakan bahwa warga non muslim berhak untuk mengeluarkan suara atau menjadi anggauta lembaga parlemen. Adalah benar bahwa system parlementer adalah lembaga modern yang dianggap sebagai pancaran dari prinsip dasar Agama Islam.
10.suatu pemerintahan yang didirikan oleh masyarakat muslim juga harus mengindahkan dasar-dasar yang telah diberikan oleh Islam. Tidak setiap bentuk pemerintahan ditoleransi oleh syari’ah.
11.Dalam pandangan Islam, komitmen suatu pemerintahan untuk mencapai tujuan ganda seperti dikemukakan diatas akan menentukan apakah pemerintaha itu memiliki legitimasi atau tidak.
12.Bila kita mempelajari Al Qur’an dan Sunnah kita dapat memahami adanya nilai-nilai politik atau prinsip-prinsip konstitusional yang harus ditegakkan dan dijadikan pilar-pilar pengelolaan suatu pemerintahan (Negara), yaitu syura, keadilan, kebebasan atau kemerdekaan, persamaan, dan tanggung jawaban penguasa dihadapan rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
1.Ahmad, Mumtaz, 1993. Masalah-Masalah Teori Politik Islam. Bandung : Mizan.
2.Gunakaya, widiana, SH, 1987. Penuntun pelajaran Tata Negara SMA Kelas I A3 & II A4 Semester 3 & 4. Bandung : Ganeca Exact.
3.Rais, Amin, Dr. 1987. Cakrawala Islam antara cita dan fakta. Bandung : Mizan.
4.Ramadan, Said, 1986. Hukum Islam Ruang Lingkup Dan Kandungannya. Jakarta : CV Gaya Media Pratama.
5.Rasjid, Sulaiman, H, 1976. Fiqh Islam. Jakarta : Attahiriyah.
6.Yudana, Made, I, Drs, 1988. Penuntun Pelajaran Tata Negara SMA Kelas III A3 & III A4 Semester 5 & 6. Bandung : Ganeca Exact.